Jual Beli yang diharamkan


MAKALAH
JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah Hadist Ahkam Muamalah yang diampu oleh:
Syahrizal,S.Pd.I,M.Us


 Hasil gambar untuk logo uin ar raniry


Oleh : Kelompok 5
Irwan                                       : 160603137
Winda Afriani                         : 160603014
Meiza Mellya                          : 160603061


JURUSAN S1 PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2018






KATA PENGANTAR


            Segala puji bagi Allah Tuhan yang telah memberikan kita nikmat yang paling baik dari segala nikmat yaitu nikmat Iman dan nikmat Islam, Allah yang Maha suci dari tempat dan sifat-sifat mahkluk. Shalawat kepada Rasulullah  صلى الله عليه وسلمsemoga ditambah kemuliaannya oleh Allah dan diberi rasa aman kepada beliau dari kegundahan beliau terhadap ummatnya, dan juga keluarga dan sahabat beliau yang kita cintai bersama dengan berkat keluarga dan sahabat beliau sehingga tersampai nikmat yang begitu besar saat ini.

            Penulis menulis makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diampu oleh Bapak Syahrizal,S.Pd.I,M.Us. Dan juga ingin mengupas sedikit tentang “Jual Beli yang diharamkan” harapannya dapat bermanfaat bagi pembaca.












     



                 



secara terminology fiqh jual beli disebut dengan al-bai’ yang bearti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bai’ dalam terminology fiqh terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal as-Syira yang bearti membeli. Dengan demikian, al-bai’ mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual-beli.

Menurut Hanafiah pengertian jual-beli (al-bay) secara definitive yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabalilah, bahwa jual-beli (al-bai’) yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Dan menurut Pasal 20 ayat 2 Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, bai’ adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang.[1]

Kata  “tukar menukar” atau “peralihan pemilikan dengan penggantian” mengandung maksud yang sama bahwa kegiatan mengalihkan hak dan pemilikkan itu berlangsung secara timbale balik atas dasar kehendak dan keinginan bersama. Kata “secara suka sama suka” atau “menurut bentuk yang di bolehkan” mengandung arti bahwa transaksi timbale balik ini berlaku menurut cara yang telah ditentukan, yaitu secara suka sama suka.

Jual beli merupakan tindakan atau transaksi yang telah disyari’atkan dalam arti telah ada hukumnya yang jelas dalam islam. Yang berkenaan dengan hukum taklifi, hukumnya adalah boleh (Mubah) atau kebolehannya ini dapat ditemukan dalam Al-qur’an dan begitu pula dalam hadist nabi. Adapun dasarnya dalam Al-qur’an diantaranya adalah pada surah Al-Baqarah ayat 275:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan Riba”

sedangkan dalam hadist nabi diantaranya adalah yang berasal dari Rufa’ah bin Rafi’ menurut Riwayat Al-bazar yang disahkan oleh Al-hakim:

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ } رَوَاهُ الْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ
sesungguhnya Nabi Muhammah صلى الله عليه وسلم telah pernah ditanya tentang usaha apa yang lebih baik,nabi berkata :.usaha seseorang dengan tangannya dan jual-beli yang mabrur.

dalam hadist nabi tersebut secara umum dapat diartikan atas dasar suka sama suka dan bebas dari penipuan dan penghianatan. ini merupakan prinsip pokok dari suatu transaksi jual-beli.[2]

Jual beli ini dinamakan jual beli ‘inah dan hukumnya haram karena sebagai wasilah (perantara) menuju riba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُـمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ شَيْئٌ حَتَّى تَرْجِعُواْ إِلَى دِيْنِكُمْ.
            Apabila kalian melakukan jual beli dengan cara ‘inah, berpegang pada ekor sapi, kalian ridha dengan hasil tanaman dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan membuat kalian dikuasai oleh kehinaan yang tidak ada sesuatu pun yang mampu mencabut kehinaan tersebut (dari kalian) sampai kalian kembali kepada agama kalian.” [HR. Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma].

     Dinamakan jual beli ini dengan ‘inah karena orang yang membeli barang dengan cara menangguhkan pembayarannya, mengambil uang dari si penjual dengan kontan (‘iinan), tetapi uang yang ia terima lebih sedikit dari apa yang ia beli sebelumnya. Dengan demikian, ia harus melunasi harga barang (yang ia beli dengan cara ditangguhkan) apabila telah sampai waktunya. Jual beli ini hukumnya haram menurut jumhur ulama.

     Tentang haramnya jual beli ini, mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dari Yunus bin Ishaq dari Ibunya yang bernama ‘Aliyyah dari Muhibbah Radhiyallahu anha, bahwa ‘Aliyyah binti Aifa’ berkata, “Saat aku menjadi Ummu Walad Zaid bin Arqam (budak yang dicampuri oleh tuannya, kemudian melahirkan anak), aku bersama isterinya datang menemui ‘Aisyah, lalu Ummu Walad Zaid bin Arqam berkata, ‘Aku menjual budak kepada Zaid bin Arqam dengan harga 800 dirham dengan cara ditangguhkan, kemudian aku membeli kembali budak darinya dengan harga 600 dirham (dan dibayar dengan kontan di tempat transaksi).’ Lalu ‘Aisyah Radhiyallahu anha berkata, ‘Betapa buruknya apa yang engkau lakukan dan betapa buruknya barang yang engkau beli, sampaikan kepada Zaid bahwa ia telah membatalkan jihadnya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia tidak bertaubat!’”

     Hadits ini tidak shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i. Namun Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam Musnadnya, dan dalam kitab at-Tanqiih disebutkan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus).

·         Contoh-Contoh Jual Beli ‘Inah.
           Seseorang membeli sebuah mobil dengan maksud ingin menjual kembali mobil tersebut kepada si penjual agar ia bisa memanfaatkan harga yang didapat. Lalu si penjual membeli kembali mobil tersebut darinya dengan harga yang lebih sedikit, namun dibayar dengan cara kontan, dan hal itu dilakukan atas dasar kesepakatan dengannya.

·         Gambaran Jelasnya Sebagai Berikut:
           Ia membeli mobil dengan harga 50.000,- dengan cara pembayarannya ditangguhkan (dihutang), kemudian si penjual membeli kembali mobil tersebut darinya dengan harga yang lebih sedikit, namun pembayarannya dilakukan di tempat transaksi (dengan membayar kontan). Si penjual menyerahkan harga mobil kepada si pembeli dengan kesepakatan bersama. Jual beli seperti ini adalah jual beli ‘inah yang diharamkan.

           Namun, pada hakikatnya si pembeli berhak menjual kembali mobil tersebut kepada si penjual ataupun kepada yang lainnya walaupun dengan harga yang lebih rendah, dengan syarat ia tidak melakukan kesepakatan dengannya untuk melakukan hal tersebut.[3]


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
      “Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم melarang jual-beli hushah dan jual-beli Gharar”

      Alasan haramnya adalah tidak pasti dalam objek, baik barang atau uang atau cara transaksinya itu sendiri. karena larangan dalam hal ini langsung menyentuh essensi jual-belinya, maka disamping haram hukumnya transaksi itu tidak sah.[4]

·         Contohnya: seperti penjualan ikan yang masih dikolam atau menjual kacang tanah yang atasnya keliatan bagus tetapi dibawahnya jelek. penjualan seperti ini dilarang, karena Rasulullah bersabda:

لاَ تَشْتَروْا السَّمَكَ فىِ الماَ ءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ

     janganlah kamu membeli ikan didalam air, karena jual-beli seperti itu       termasuk gharar alias penipuan” (H.R, Ahmad)[5]

      Dalam suatu Ta’rif jual-beli ‘urbun diartikan dengan jual-beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar dengan harga yang telah di sepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.

      jual-beli dalam bentuk ini hukumnya haram, dasar haramnya adalah hadist Nabi dari Amru bin Syu’eb menurut riwayat Malik yang mengatakan:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ.

      “sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang jual-beli ‘urban.

      Alasan haram jual-beli ini adalah ketika pastian dalam jual-beli, oleh karena itu hukumnya tidak sah karena menyalahi syarat jual beli.[6]

·         Contohnya adalah: “seseorang membeli barang tertentu dan menyerahkanya sebagian pembayarannya kepada penjual. Jika Jual-beli terjadi, uang yang telah dibayar tersebut terhitung dalam harga barang, namun jika batal maka uang jadi milik penjual sebagai pemberian dari pihak pembeli. jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa jual-beli seperti ini tidak sah. hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Majah:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ.

      “Rasulullah melarang jul-beli ‘urban (‘urbun)”

      imam Ahmad menilai Dhaif hadist ini dan membolehkan jual-beli ‘urbun berdasarkan riwayat dari Nafi’ bin Abdul Harits bahawa dia pernah membelikan umar sebuah rumah untuk dijadikan penjara dari Shafwan bin Umaiyah senilai empat ribu dirham, jika umar setuju maka jual-beli dilaksanakan, dan jika tidak setuju maka Shafwan mendapat uang empat ribu dirham.[7]



Jual beli adalah secara terminology fiqh jual beli disebut dengan al-bai’ yang bearti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bai’ dalam terminology fiqh terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal as-Syira yang bearti membeli. Dengan demikian, al-bai’ mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual-beli.

‘innah Jual beli ini dinamakan jual beli ‘inah dan hukumnya haram karena sebagai wasilah (perantara) menuju riba.
Jual-beli Gharar adalah jual beli yang mengandung unsur-unsur penipuan, baik karena ketidakjelasan dalam objek jual-beli atau ketidak pastian dalam cara pelaksaannya. hukum jual-beli ini adalah haram.

Dalam suatu Ta’rif jual-beli ‘urbun diartikan dengan jual-beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar dengan harga yang telah di sepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu. Jual-beli dalam bentuk ini hukumnya haram.



























Buku:
Dr. Mardani, 2012. Fiqh Ekonomi Syari’ah. Jakarta : KENCANA
Syariffudin,  Amir, 2010. Garis-garis besar FiQH. Jakarta : KECANA
Suhendi, Hendi, 2008.  Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
Al-Faifi, Sulaiman, 2010. Ringkasan FIKIH SUNNAH. Jakarta Timur : Beirut Publishing

Web/Internet:
https://almanhaj.or.id/4035-jual-beli-inah-jual-beli-dengan-najasy.html














































          [1] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah (Jakarta:KENCANA,2012) hlm 101
          [2] Syariffudin Amir, Garis-garis besar FiQH (Jakarta:KECANA,2010) hlm 192-194
          [3] https://almanhaj.or.id/4035-jual-beli-inah-jual-beli-dengan-najasy.html
            [4] Syariffudin Amir, Garis-garis besar FiQH (Jakarta:KECANA,2010) hlm    201
            [5] Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada,2008)hlm 81
            [6] Syariffudin Amir, Garis-garis besar FiQH (Jakarta:KECANA,2010) hlm  206 
            [7] Al-Faifi Sulaiman, Ringkasan FIKIH SUNNAH (Jakarta Timur:Beirut Publishing,2010) hlm 781





Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA MENGHITAMKAN GARIS DI TABEL MICROSOFT EXCEL

Dayah salafi Aceh

Bank syariah Aceh